Welcome To My Blog
RSS icon Home icon
  • Use Of The Balance Scorecard for ICT Performance Management

    Posted on January 12th, 2010 Ferry1002 No comments

    Pendahuluan

    Pada dasarnya kebutuhan akan pengendalian ICT atau Information and Communication Technology dan pengaturannya sangatlah dibutuhkan sesuai dengan perkembangan organisasi dan besarnya pengeluaran yang di pakai untuk ICT tersebut. Hampir keseluruhan dari tiap-tiap orang pemegang saham termasuk eksekutif managemen, line managers, ICT manager, dan yang lainnya harus memiliki wawasan yang luas mengenai apakah strategi ICT dan pegoperasiannya di dalam suatu organisasi memberikan nilai tambah tanpa menghasilkan resiko yang tidak beralasan.

    Ketika kita ingin menentukan area kegiatan mana yang membutuhkan suatu management, kita perlu terlebih dahulu memikirkan aturan-aturan dan nilai-nilai dari organisasi ICT. Sangatlah berbeda dengan bisnis managemen dan ICT managemen untuk ICT supply managemen. Untuk itu perlu kita melihat dari berbagai sudut yang berbeda. Ada baiknya di lihat dari sudut pandang para pemegang saham sebab para pemegang saham memiliki begitu banyak pertanyaan yang dimana suatu organisasi atau perusahaan harulah mampu untuk menjawab pertanyaan tersebut.

    Karena itulah di butuhkannya suatu pemantauan atas setiap proses kerja yang diminati dan bukan di serahkan hanya kepada pihak keuangan belaka. Oleh sebab itu, performance management merupakan management proses yang lebih dari sekedar mekanisme pengaturan saja, tetapi dimaksudkan kepada pengaturan object yang di tuju (perencanaan) dan pemantauan (monitoring) apakah object tersebut telah tercapai oleh suatu organisasai atau belum. Untuk mengaplikasikan performance management ke dalam suatu organisasi atau perusahaan perlu pertama kali disusun gagasan yang bagus tetang hal penting apa yang perlu di sadari bersama. Banyak aspek yang dapat dipantau, antara lainnya adalah keuangan, efisiensi, efektifitas, pelayanan dan lain-lain.

    Salah satu model yang digunakan untuk menentukan performace management adalah The Balanced Scorecard yang di buat oleh Kaplan dan Norton. The Balance score card mengubah visi dan strategi suatu perusahaan kedalam objek yang konkrit, dan di organised dengan 4 perspektif yang berbeda, yaitu :

    1. Perspektif financial -> sebagaimana menariknya ICT untuk di aplikasikan di seluruh organisasi?
    2. Perspektif Pelanggan -> bagaimana pelanggan melihat kualitas ketentuan layanan ICT?
    3. Perspektif Proses Internal -> sebagaimana efektif dan efisiennya proses di dalam ICT?
    4. The Learning & Growth Perspective -> apakah ICT dapat memberikan inovasi dan kemajuan? Ada 5 fase pertumbuhan yang terjadi :
    1. Fase Technology Driven -> ICT manager dan spesialis meminimalis management.
    2. Fase Controlled -> Manager Departemen ICT dan Manager Proses menset up managemen dasar.
    3. Fase Service-Oriented -> ICT manager dan pengawas menyediakan pada organisasi dengan management yang struktural.
    4. Fase Customer-Oriented -> Manager ICT mendaparkan dukungan dari pengawas dan masukkan dari para manager lainnya.
    5. Fase Business-Oriented -> Manager ICT dan para manager lainnya saling bekerjasama dalam mengatur ICT dalam perusahaan.

    Setiap perspektif membutuhkan pengenalan akan CSF (Critical Success Factors). Dan setiap CSF ada KPI (Key Performance Indicators) yang tetap. KPI memiliki fitur lain yang di butuhkan, yaitu SMART (Specific, Measurable, Ambitious, Relevant dan Time-Bound).

    Contoh Kasus

    Unilever Indonesia merupakan salah satu anak perusahaan raksasa produk konsumen Unilever yang patut dibanggakan. Secara finansial hingga 2004, Unilever Indonesia berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan dua digit selama 6 tahun berturut-turut. Angka penjualan tumbuh sebesar 10,6% menjadi Rp 8,985 triliun; laba usaha tumbuh 14,8% menjadi Rp 2,039 triliun; laba bersih tumbuh sebesar 13,2% menjadi Rp 1,468 triliun. Dengan kurs sekitar Rp 9.000 per dolar Amerika, maka Unilever Indonesia bisa dikatakan perusahaan satu miliar dolar.

    Strategi bisnis adalah awal dari seluruh program yang dijalankan Unilever. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar dari sistem Balanced Scorecard (BSc), yang mulai diterapkan Unilever Indonesia sejak tahun 2000. Implementasi sistem BSc pada mulanya dibantu oleh konsultan. Sebelum tahun 2000, menurut HR Director Unilever Indonesia Josef Bataona, perusahaan menerapkan model yang berbeda.

    Pada era sebelum tahun 2000, perusahaan memiliki buku rencana bisnis tahunan yang cukup tebal dan sampulnya dibuat glossy agar kelihatan lebih mewah. Materi buku tersebut tidak mudah untuk dicerna dan dibaca, di samping tidak praktis. Manajemen kemudian berpikir mencari pengganti buku berisi strategi itu dalam bentuk yang lebih handy, namun efektif untuk selalu mengingatkan seluruh pihak tentang komitmen mereka tahun itu. Pemikiran ini mendapatkan jalan saat perusahaan memutuskan untuk menerapkan sistem BSc. “Setelah menjalankan beberapa tahun, kami menilai model BSc sangat bagus dalam menunjang kinerja perusahaan,” tegasnya.

    Unilever Indonesia tidak menyebut konsep ini sebagai BSc, melainkan dengan istilah lain: Balanced Business Strategy (BBS) dan Balanced Business Plan (BBP). BBS dan BBP disusun atas dasar sistem nilai utama perusahaan, yaitu fokus untuk melayani pelanggan, konsumen, dan masyarakat. BBS merupakan strategi bisnis dalam periode lebih panjang (3-5 tahun). ladijabarkan menjadi rencana bisnis tahunan dalam bentuk BBP.

    Dari level korporat, BBS dan BBP itu diturunkan ke level divisi, departemen hingga individu. Muaranya adalah rencana implementasi. Proses penyusunan BBS dan BBP dilakukan secara seimbang: tidak hanya top-down, tetapi juga bottom-up. Untuk mendapatkan komitmen dan rasa memiliki karyawan, perusahaan mengundang partisipasi seluruh karyawan untuk memberikan masukan. Masukan tersebut dibawa ke level yang lebih tinggi, hingga ke level direksi (Board).

    Di level Board, yang terdiri dari seluruh direksi dan 1-2 manajer kunci senior dari masing-masing divisi, secara intens digodok BBS dan BBP – sebagian inputnya juga berasal dari bawah. Wujud dari BBS dan BBP itu sesungguhnya cukup sederhana, karena cukup satu lembar kertas saja. Sebagai rencana tahunan, BBP dibagi dalam 4 kolom, yaitu pemasaran, operasional, SDM & organisasi, dan keuangan. Penyusunan BBP dimulai dengan menetapkan rencana bisnis di bidang pemasaran secara bersama-sama. Setelah disepakati, lantas dibicarakan rencana bisnis dari sisi operasional untuk menunjang pencapaian rencana bisnis pemasaran tersebut. Untuk memungkinkan pemasaran bertumbuh sesuai rencana bisnis dan operasional yang mendukung, maka perusahaan mendefinisikan rencana bisnis dari kolom SDM dan organisasi. Semua aktivitas ini pada akhirnya bermuara pada kolom keuangan.

    Di setiap kolom ditetapkan pula KPI-nya. Dalam kolom pemasaran, misalnya, target pertumbuhannya sangat jelas dalam persen. Di dalam kolom operasional, antara lain, tertera persen kenaikan level pelayanan. Sementara di kolom SDM dan organisasi, umpamanya dijelaskan kalau perusahaan membutuhkan kompetensi baru, maka divisi ini menegaskan kapan harus tersedia. Hasilnya benar-benar hanya satu lembar, paling tidak untuk level korporat dan divisi, tetapi satu lembar yang sangat penting. Tapi, jangan dikira strategi bisnis yang serius tersebut ditampilkan dengan kata-kata yang serius pula. Unilever mencoba menggunakan bahasa yang fun, fancy, dan sejenisnya. “Jangan sampai bahasa strategi itu terlalu rumit dan berat sehingga susah dipahami,” ungkap Presiden Direktur Unilever Indonesia Tbk. Maurits Lalisang, suatu kali.

    Contohnya, di bidang pemasaran strategi Unilever adalah delight consumer everywhere and everyday, nurture with tender &� loving care ‘infant’ business, dan seterusnya. Di divisi SDM dan organisasi, temanya empower our people and community. Di sisi lain, setiap tahun karyawan membuat proyek kegiatan dengan nama yang aneh-aneh. “Setelah ditanya, ternyata itu nama kampung kelahiran pemimpin kegiatan,” kata Josef sambil tersenyum. Proses penyusunan BBS dan BBP dibuat dengan memberikan kebebasan kepada level yang lebih bawah dalam menentukan how, sementara level lebih atas hanya menentukan aspek what saja. Proses seperti ini, tutur Josef, merangsang karyawan untuk berpikir secara aktif dan kreatif sekaligus untuk menumbuhkan kepemilikan atas setiap strategi yang telah diputuskan. Toh pada akhirnya strategi tersebut harus diterapkan secara ekselen. Karyawan akan berpikir tidak hanya memenuhi individual plan, tetapi juga berpikir dalam konteks korporat. Kalau bisa membantu menjalankan annual plan level lebih tinggi, maka mereka bisa berkontribusi untuk rencana divisi maupun korporat. Hal ini menjadikan kerjasama antar divisi pun berjalan dengan baik. Masing-masing individu dan bagian saling mengingatkan dan mendukung saat implementasi strategi bisnis.

    Unilever Indonesia memonitor pencapaian KPI dengan menggunakan system traffic light. Selain warna merah, ada warna kuning (sebagian tercapai, sebagian belum) dan warna hijau, yang berarti tercapai. Dalam setiap rapat direksi yang berlangsung setiap bulan, mereka tinggal melihat wama tersebut yang muncul dalam satu lembar BBS dan BBP. Tidak perlu lagi bicara angka, karena warna tersebut mencerminkan hal sesungguhnya. Perhatian direksi difokuskan pada strategi memperbaiki KPI yang masih berwarna merah, sedangkan yang lain dianggap sudah berjalan. Begitulah seterusnya agar KPI berwarna merah berubah menjadi kuning dan hijau. Uniknya, pencapaian target tersebut juga bisa dimonitor oleh seluruh karyawan melalui layar 2 buah TV yang berada di setiap lantai gedung kantor pusat Unilever di Jakarta. Setiap kali mereka bisa melihat pencapaian target mingguan dari sisi penjualan berbagai divisi pemasaran (home care,personal care, foods, dan ice cream). Strategi komunikasi ini bertujuan untuk membangun kepedulian dan semangat di antara para karyawan. “Jadi, kalau manajemen datang kepada mereka untuk minta bantuan, mereka pun mengerti dan memberikan dukungan karena hasilnya bisa mereka lihat,” tegas Josef.

    Evaluasi pencapaian target KPI dikoordinir oleh Corporate Strategic Planner yang berada di bawah CFO (Chief Financial Officer). Dia berhubungan dengan BBP Champion yang menjadi orang penghubung dan koordinator dari setiap divisi. Para champion ditentukan oleh Direksi dari divisi masingmasing, yaitu individu yang berada satu level di bawah direksi dengan kemampuan fasilitator dan ko-munikator yang baik. “Mereka datang ke setiap bagian untuk mengevaluasi kemajuan pencapaian target,” tambah Mia Korompis, External Public Relations Manager Unilever lndonesia. Kecuali itu, mereka ini bertugas memfasilitasi berbagai rapat atau diskusi membahas BBS dan BBP di divisi yang berbeda (bukan di divisinya sendiri). Untuk menjadi champion, mereka telah diberi training terlebih dahulu.

    Dalam perspektif learning and growth, serangkaian proses dilakukan Unilever secara konsisten. Sebagian besar kegiatan pembelajaran dan pertumbuhan dilaksanakan sendiri oleh Unilever, khususnya melalui Unilever Learning Center di kawasan Megamendung, Puncak. Lembaga ini merupakan pusat training Unilever di kawasan Asia bersama-sama dengan India. Kecuali training bersifat kompetensi teknis, Unilever mencoba menyeimbangkan pula antara hard competencies dengan soft competencies. Umpamanya, perusahaan mengembangkan mentalitas “make it mine” – bahwa setiap program implementasi adalah tanggung jawab setiap orang dan tidak mengandalkan orang lain. Ada lagi program “can do”, yaitu mengembangkan mentalitas bahwa kita bisa. Hasil dari implementasi BSc di Unilever Indonesia tidak hanya tercermin dari angka-angka pencapaian finansial (bottom line) seperti tertera di awal tulisan ini. Beberapa kali Unilever Indonesia dinilai terbaik oleh Unilever global dalam kreativitas people strategy dan diundang untuk berbagi sukses dengan seluruh jajaran Unilever.

  • Is SOA Dead ?

    Posted on January 12th, 2010 Ferry1002 No comments

    Perdebatan yang saya lihat melalui website yang memiliki topik SOA is dead sebenarnya point yang di maksud Anne Thomas adalah tidak mengatakan bahwa SOA akan tidak dipergunakan lagi. Bahwa SOA tidak berguna sama sekali untuk saat-saat ini. Bahwa SOA merupakan teknologi terbelakang. Tetapi maksud dari Anne mengatakan SOA is dead adalah bahwa ada kemungkinan di tahun ini di mana semua orang akan menganggap bahwa untuk membutuhkan budget yang lebih dalam pengaplikasiannya dalam suatu perusahaan. Belum lagi maintanance yang di butuhkan agar SOA dapat terus berjalan dalam suatu perusahaan. Mengapa? Karena kita sama-sama tahu bahwa di tahun ini memang kita saat ini mengalami krisis keuangan yang sangat parah di banding tahun-tahun sebelumnya. Dimana semua negara mengalaminya. Sehingga kebanyakan perusahaan saat ini cuma melihat bagaimana caranya agar perusahaannya dapat bertahan di tahun-tahun ini. Karena itu mereka hanya melihat dari cara-cara yang menurut mereka masuk akal untuk mendapatkan profit atau keuntungan yang lebih. Padahal tanpa disadari bahwa SOA dapat menurunkan biaya secara efective.

    Mengapa? Dalam 1 perusahaan pasti ada sistem IT yang dijalankan untuk menjalankan proses kerja suatu perusahaan. Tidak menutup kemungkinan sistem yang ada pasti tidak hanya di gunakan oleh 1 departemen saja. Pasti ditiap-tiap departement saling membutuhkan akan informasi yang ada pada tiap-tiap departemen. Kalau saja SOA tidak dipakai, bagaimana mungkin menggabungkan tiap-tiap aplikasi yang ada di tiap-tiap departemen. Jikalaupun bisa di integrasikan, bagaimana seandainya ada tambahan departemen atau bagian baru dari perusahaan tersebut, kalau tidak memakai SOA, pastinya secara keseluruhan aplikasi harus di ubah. Dan pastinya memakan cost/atau biaya yang banyak. Sedangkan jika kita sebelumnya sudah memakai SOA, mungkin kita hanya ngerubahnya di ESBnya saja. Sehingga tidak menimbulkan cost /biaya yang lebih. Nah kalau sudah begitu dimana letaknya bahwa SOA hanyalah akan membawa cost/biaya yang lebih banyak.

    Secara keseluruhan SOA pastilah tidak akan mati. Karena SOA kalau di lihat inti tujuannya adalah untuk bisnis. SOA berbicara tentang bisnis. SOA berbicara mengenai layanan. SOA berbicara mengenai fleksibilitas aplikasi yang mendukung proses bisnis.

  • The Strategic Potential of The Internet : Strategy and The Internet

    Posted on January 12th, 2010 Ferry1002 No comments

    Seperti yang kita ketahui bahwa internet merupakan suatu teknologi yang sangat penting bagi para pihak pengusaha, pihak eksekutif, para investor, dan para pengamat bisnis. Banyak pihak yang berasumsi bahwa internet itu merupakan segalanya yang menurut mereka dapat menggeser aturan-aturan lama yang berbicara soal komptitif dan perusahaan. Namun inilah yang merupakan permasalahannya, dimana ketika perusahaan menggunakan internet tersebut inilah suatu keputusan yang terburuk yang pernah di lakukan, yang dapat memberikan citra buruk pada perusahaan mereka dan menurunkan nilai-nilai keuntungan kompetitif mereka. Kita perlu menanyakan beberapa pertanyaan yang penting seperti :

    1. Siapa yang akan mendapatkan keuntungan ekonomis yang di hasilkan oleh internet? Apakah semua nilai-nilai yang ada berakhir pada konsumen atau akankah perusahaan akan mendapatkan saham dari nilai-nilai tersebut?
    2. Apakah dampak yang akan di berikan oleh internet terhadap struktur industri? Apakah akan memperluas atau memperkecil keuntungan yang didapat?
    3. Apakah internet akan mempengaruhi strategi perusahaan? Apakah internet akan menunjang atau mengurangi kemampuan dari perusahaan untuk mendapatkan keuntungan terus menerus dari para kompetitor mereka?

    Ketika kita mencoba untuk melihat lebih jelas, internet belum tentu merupakan suatu keuntungan. Internet cenderung dapat mengubah struktur industri yang dapat mengurangi profitabilitas secara keseluruhan, dan memiliki efek perataan prakter bisnis, mengurangi kemampuan dari perusahaan untuk menjalankan keuntungan operasional yang dapat terus berkelanjutan. Pertanyaan yang penting untuk dipertanyakan bukannya Apakah dalam menggunakan internet – perusahaan tidak memiliki pilihan lain jika mereka ingin bertahan dalam kompetisi, tetapi bagaimana menggunakan internet, untuk bisa bertahan dalam kompetisi. Teknologi internet dapat memberikan kesempatan yang terbaik bagi perusahaan untuk membentuk posisi strategi yang khas di banding dari generasi teknologi informasi sebelumnya. Perusahaan-perusahaan yang berhasil adalah perusahaan yang menggunakan internet menjadi suatu pelengkap saja, bukan menjadi bagian yang terpisah dari operasi perusahaan.

    Distorted Market Signals

    Pada tahap awal pengimplementasian teknologi baru, sinyal pasar menjadi tidak dapat di percaya. Beberapa perusahaan yang menjalankan hal ini menjadi terganggu dengan penyimpangan sinyal pasar. Teknologi yang baru memicu untuk mencoba-coba eksperimen bagi perusahaan dan konsumen yang membuat menjadi tidak ekonomis. Alhasil tingkah pasar menjadi menyimpang dan perlu di tafsirkan dengan suatu peringatan. Gambaran penjualan menjadi tidak bisa diandalkan dikarenakan 3 alasan penting :

    1. ketika banyak perusahaan yang mensubsidi setiap penjualan dari produk atau jasa mereka dengan harapan akan mendapatkan tempat dalam internet dan menarik banyak konsumen. Pihak pemerintah juga melakukan hal yang sama dalam penjualan online dengan mengesampingkan pajak penjualan. Pihak konsumen lebih memilih untuk harga yang mendapatkan discount yang besar-besaran, atau mendapatkannya secara gratis dibanding dengan membelinya dengan harga yang sebenarnya. Ketika harga rendah, maka permintaan akan unit tersebut akan semakin tinggi.
    2. Kebanyakan para pembeli lebih tertarik memasuki penjualan online dikarenakan rasa penasarannya. Mereka lebih memilih untuk melakukan transaksi secara online meskipun nantinya keuntungan yang di dapat seringkali berubah-ubah atau terbatas. Jika Amazon bisa memberikan harga lebih murah dari harga pasar dan memberikan gratis pengiriman, konsumen pasti akan memilih melakukan pembeliannya melalui Amazon.com apalagi jika subsidi berakhir, maka ini menjadi penilaian terhadap kesetiaan para konsumen terhadap kejadian ini.
    3. Sebagian pendapatan dari penjualan secara online tidaklah didapat secara uang tetapi secara saham. Nilai daripada saham yang diterima itu sering kali di pertanyakan dikarenakan bergantung kepada fluktuasi nilai saham.

    Jika pendapatan merupakan konsep yang sukar di pahami dalam internet, maka biaya sukar untuk di lihat. Kebanyakan perusahaan terlalu menikmati masukan subsidi yang diberikan. Banyak para pemasok yang ada itu belajar untuk bagaimana menyediakan produk , jasa dan konten dengan harga diskon yang besar-besaran. Mereka rela sampai membeli protal yang terbaik dengan harga yang lebih mahal untuk menarik perhatian konsumen. Sehingga yang sering terjadi adalah seringnya menyembunyikan biaya yang sebenarnya yang di keluarkan. Pembayaran terhadap ekuitas tidak lagi dimunculkan dalam income statement, tetapi itu di jadikan biaya nyata bagi para pemegang saham. Terdistorsinya pendapatan, biaya, dan harga saham telah sesuai dengan metrik keuangan yang tidak dapat diandalkan yang di gunakan oleh perusahaan.

    A Return to Fundamentals

    Ada 2 kesimpulan besar yang dapat ditarik ketika perusahaan sulit untuk melihat dampak dari internet terhadap bisnis hari demi hari :

    1. Bisnis yang ada dalam internet biasanya berjalan merupakan artificial business yang bersaing dengan artificial meand dan ditopang oleh modal yang telah di sediakan sebelumnya.
    2. Pada masa transisi seringkali muncul suatu aturan baru dalam berkompetisi tetapi ketiak pasar bermain keluar, aturan lama kembali mengatur mata uang mereka. Jelas sekali nilai ekonomis sangatlah berperan penting dalam kesuksesan bisnis.

    Berbicara soal nilai ekonomis yang merupakan tidak lebih dari kesenjangan antara harga dan biaya tidak cukup hanya dapat di ukur berdasarkan keuntungan yang didapat secara terus menerus, pengurangan pengeluaran, dan dengan mengerahkan teknologi internet. Nilai ekonomis juga di lihat dari indikator nilai saham perusahaan tersebut tetapi hanya yang berjangka panjang. Banyak orang beranggapan bahwa keberhasilan provider internet itu sudah menjadi nilai eknomis dari internet, tetapi anggapan ini salah. Justru pengguna internet lah yang menciptakan nilai ekonomis dari internet. Lalu bagaimana internet dapat menciptakan suatu nilai ekonomis? Bisa kita lihat melalui 2 faktor fundamental yang menentukan keuntungan :

    1. Struktur Insdustri, yang menentukan keuntungan rata-rata pesaing.
    2. Keunggulan kompetitif yang berkesinambungan, yang mengijinkan perusahaan untuk mengungguli rata-rata pesaing.

    Kedua penentu ini berlaku umum pada tipe perusahaan apa saja dan penggunaan teknologi apa saja. Keuntungan yang potensial dapat di mengerti hanya dengan melihat ke dalam pribadi industri itu sendiri dan pribadi perusahaan itu sendiri.

    The Internet and Industry Structure

    Membutuhkan suatu biaya yang cukup tinggi dalam membuat suatu industri baru dalam sebuah internet. Internet tidak bisa menciptakan suatu industri baru tetapi merupakan sarana yang baik dalam membuat pembelajaran jarak jauh. Ada lima kekuatan kompetitif yang dapat membantu perusahaan tersebut dalam membentuk daya tarik, baik itu perusahaan yang baru, ataupun perusahaan lama :

    1. Intensitas persaingan diantara pesaing yang ada.
    2. Hambatan bagi para pesaing baru.
    3. Ancaman dari produk atau jasa pengganti.
    4. Kekuatan tawar menawar dari para pemasok.
    5. Kekuatan tawar menawar dari para pembeli.

    Kombinasi dari kelima inilah yang menentukan nilai ekonomis di bentuk. Untuk masing-masing industri itu berbeda nilai kekuatannya ketika mereka menjalankan kelima kekuatan kompetitif ini, karena itu salah jika kita terlalu gampang menentukan dampak dari penggunaan internet terhadap keuntung industri jangka panjang. Secara positif dapat kita lihat internet mampu menahan arus tawar menawar yang di sediakan perusahaan-perusahaan terhadap yang baru, lebih mengarah kepada konsumen. Internet juga dapat meningkatkan efisiensi industri. Namun lebih banyak hal negatif yang dapat diterima. Pengguna internet cenderung untuk memasuki pasar geografis yang dapat membawa banyak perusahaan dalam bersaing sehingga membuat perusahaan mendapatkan tekanan yang sangat besar dalam memberikan harga yang kompetitif dikarenakan mereka harus mengurangi biaya variabel dan struktur kemiringan biaya kearah biaya tetap. Paradox yang besar dari penggunaan internet adalah internet sangat bermanfaat, alasannya karena dapat membuat informasi tersebar luas, mengurangi kesulitan dalam pembelian, penjualan dan distribusi barang yang mebantu para pembeli dan penjual dalam melakukan transaksi secara mudah dan cepat. Tetapi pada dasarnya perusahaan mengalami kesulitan dalam mengambil keuntungan sebagai laba.

    How the internet influences industry structure