Welcome To My Blog
RSS icon Home icon
  • Use Of The Balance Scorecard for ICT Performance Management

    Posted on January 12th, 2010 Ferry1002 No comments

    Pendahuluan

    Pada dasarnya kebutuhan akan pengendalian ICT atau Information and Communication Technology dan pengaturannya sangatlah dibutuhkan sesuai dengan perkembangan organisasi dan besarnya pengeluaran yang di pakai untuk ICT tersebut. Hampir keseluruhan dari tiap-tiap orang pemegang saham termasuk eksekutif managemen, line managers, ICT manager, dan yang lainnya harus memiliki wawasan yang luas mengenai apakah strategi ICT dan pegoperasiannya di dalam suatu organisasi memberikan nilai tambah tanpa menghasilkan resiko yang tidak beralasan.

    Ketika kita ingin menentukan area kegiatan mana yang membutuhkan suatu management, kita perlu terlebih dahulu memikirkan aturan-aturan dan nilai-nilai dari organisasi ICT. Sangatlah berbeda dengan bisnis managemen dan ICT managemen untuk ICT supply managemen. Untuk itu perlu kita melihat dari berbagai sudut yang berbeda. Ada baiknya di lihat dari sudut pandang para pemegang saham sebab para pemegang saham memiliki begitu banyak pertanyaan yang dimana suatu organisasi atau perusahaan harulah mampu untuk menjawab pertanyaan tersebut.

    Karena itulah di butuhkannya suatu pemantauan atas setiap proses kerja yang diminati dan bukan di serahkan hanya kepada pihak keuangan belaka. Oleh sebab itu, performance management merupakan management proses yang lebih dari sekedar mekanisme pengaturan saja, tetapi dimaksudkan kepada pengaturan object yang di tuju (perencanaan) dan pemantauan (monitoring) apakah object tersebut telah tercapai oleh suatu organisasai atau belum. Untuk mengaplikasikan performance management ke dalam suatu organisasi atau perusahaan perlu pertama kali disusun gagasan yang bagus tetang hal penting apa yang perlu di sadari bersama. Banyak aspek yang dapat dipantau, antara lainnya adalah keuangan, efisiensi, efektifitas, pelayanan dan lain-lain.

    Salah satu model yang digunakan untuk menentukan performace management adalah The Balanced Scorecard yang di buat oleh Kaplan dan Norton. The Balance score card mengubah visi dan strategi suatu perusahaan kedalam objek yang konkrit, dan di organised dengan 4 perspektif yang berbeda, yaitu :

    1. Perspektif financial -> sebagaimana menariknya ICT untuk di aplikasikan di seluruh organisasi?
    2. Perspektif Pelanggan -> bagaimana pelanggan melihat kualitas ketentuan layanan ICT?
    3. Perspektif Proses Internal -> sebagaimana efektif dan efisiennya proses di dalam ICT?
    4. The Learning & Growth Perspective -> apakah ICT dapat memberikan inovasi dan kemajuan? Ada 5 fase pertumbuhan yang terjadi :
    1. Fase Technology Driven -> ICT manager dan spesialis meminimalis management.
    2. Fase Controlled -> Manager Departemen ICT dan Manager Proses menset up managemen dasar.
    3. Fase Service-Oriented -> ICT manager dan pengawas menyediakan pada organisasi dengan management yang struktural.
    4. Fase Customer-Oriented -> Manager ICT mendaparkan dukungan dari pengawas dan masukkan dari para manager lainnya.
    5. Fase Business-Oriented -> Manager ICT dan para manager lainnya saling bekerjasama dalam mengatur ICT dalam perusahaan.

    Setiap perspektif membutuhkan pengenalan akan CSF (Critical Success Factors). Dan setiap CSF ada KPI (Key Performance Indicators) yang tetap. KPI memiliki fitur lain yang di butuhkan, yaitu SMART (Specific, Measurable, Ambitious, Relevant dan Time-Bound).

    Contoh Kasus

    Unilever Indonesia merupakan salah satu anak perusahaan raksasa produk konsumen Unilever yang patut dibanggakan. Secara finansial hingga 2004, Unilever Indonesia berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan dua digit selama 6 tahun berturut-turut. Angka penjualan tumbuh sebesar 10,6% menjadi Rp 8,985 triliun; laba usaha tumbuh 14,8% menjadi Rp 2,039 triliun; laba bersih tumbuh sebesar 13,2% menjadi Rp 1,468 triliun. Dengan kurs sekitar Rp 9.000 per dolar Amerika, maka Unilever Indonesia bisa dikatakan perusahaan satu miliar dolar.

    Strategi bisnis adalah awal dari seluruh program yang dijalankan Unilever. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar dari sistem Balanced Scorecard (BSc), yang mulai diterapkan Unilever Indonesia sejak tahun 2000. Implementasi sistem BSc pada mulanya dibantu oleh konsultan. Sebelum tahun 2000, menurut HR Director Unilever Indonesia Josef Bataona, perusahaan menerapkan model yang berbeda.

    Pada era sebelum tahun 2000, perusahaan memiliki buku rencana bisnis tahunan yang cukup tebal dan sampulnya dibuat glossy agar kelihatan lebih mewah. Materi buku tersebut tidak mudah untuk dicerna dan dibaca, di samping tidak praktis. Manajemen kemudian berpikir mencari pengganti buku berisi strategi itu dalam bentuk yang lebih handy, namun efektif untuk selalu mengingatkan seluruh pihak tentang komitmen mereka tahun itu. Pemikiran ini mendapatkan jalan saat perusahaan memutuskan untuk menerapkan sistem BSc. “Setelah menjalankan beberapa tahun, kami menilai model BSc sangat bagus dalam menunjang kinerja perusahaan,” tegasnya.

    Unilever Indonesia tidak menyebut konsep ini sebagai BSc, melainkan dengan istilah lain: Balanced Business Strategy (BBS) dan Balanced Business Plan (BBP). BBS dan BBP disusun atas dasar sistem nilai utama perusahaan, yaitu fokus untuk melayani pelanggan, konsumen, dan masyarakat. BBS merupakan strategi bisnis dalam periode lebih panjang (3-5 tahun). ladijabarkan menjadi rencana bisnis tahunan dalam bentuk BBP.

    Dari level korporat, BBS dan BBP itu diturunkan ke level divisi, departemen hingga individu. Muaranya adalah rencana implementasi. Proses penyusunan BBS dan BBP dilakukan secara seimbang: tidak hanya top-down, tetapi juga bottom-up. Untuk mendapatkan komitmen dan rasa memiliki karyawan, perusahaan mengundang partisipasi seluruh karyawan untuk memberikan masukan. Masukan tersebut dibawa ke level yang lebih tinggi, hingga ke level direksi (Board).

    Di level Board, yang terdiri dari seluruh direksi dan 1-2 manajer kunci senior dari masing-masing divisi, secara intens digodok BBS dan BBP – sebagian inputnya juga berasal dari bawah. Wujud dari BBS dan BBP itu sesungguhnya cukup sederhana, karena cukup satu lembar kertas saja. Sebagai rencana tahunan, BBP dibagi dalam 4 kolom, yaitu pemasaran, operasional, SDM & organisasi, dan keuangan. Penyusunan BBP dimulai dengan menetapkan rencana bisnis di bidang pemasaran secara bersama-sama. Setelah disepakati, lantas dibicarakan rencana bisnis dari sisi operasional untuk menunjang pencapaian rencana bisnis pemasaran tersebut. Untuk memungkinkan pemasaran bertumbuh sesuai rencana bisnis dan operasional yang mendukung, maka perusahaan mendefinisikan rencana bisnis dari kolom SDM dan organisasi. Semua aktivitas ini pada akhirnya bermuara pada kolom keuangan.

    Di setiap kolom ditetapkan pula KPI-nya. Dalam kolom pemasaran, misalnya, target pertumbuhannya sangat jelas dalam persen. Di dalam kolom operasional, antara lain, tertera persen kenaikan level pelayanan. Sementara di kolom SDM dan organisasi, umpamanya dijelaskan kalau perusahaan membutuhkan kompetensi baru, maka divisi ini menegaskan kapan harus tersedia. Hasilnya benar-benar hanya satu lembar, paling tidak untuk level korporat dan divisi, tetapi satu lembar yang sangat penting. Tapi, jangan dikira strategi bisnis yang serius tersebut ditampilkan dengan kata-kata yang serius pula. Unilever mencoba menggunakan bahasa yang fun, fancy, dan sejenisnya. “Jangan sampai bahasa strategi itu terlalu rumit dan berat sehingga susah dipahami,” ungkap Presiden Direktur Unilever Indonesia Tbk. Maurits Lalisang, suatu kali.

    Contohnya, di bidang pemasaran strategi Unilever adalah delight consumer everywhere and everyday, nurture with tender &� loving care ‘infant’ business, dan seterusnya. Di divisi SDM dan organisasi, temanya empower our people and community. Di sisi lain, setiap tahun karyawan membuat proyek kegiatan dengan nama yang aneh-aneh. “Setelah ditanya, ternyata itu nama kampung kelahiran pemimpin kegiatan,” kata Josef sambil tersenyum. Proses penyusunan BBS dan BBP dibuat dengan memberikan kebebasan kepada level yang lebih bawah dalam menentukan how, sementara level lebih atas hanya menentukan aspek what saja. Proses seperti ini, tutur Josef, merangsang karyawan untuk berpikir secara aktif dan kreatif sekaligus untuk menumbuhkan kepemilikan atas setiap strategi yang telah diputuskan. Toh pada akhirnya strategi tersebut harus diterapkan secara ekselen. Karyawan akan berpikir tidak hanya memenuhi individual plan, tetapi juga berpikir dalam konteks korporat. Kalau bisa membantu menjalankan annual plan level lebih tinggi, maka mereka bisa berkontribusi untuk rencana divisi maupun korporat. Hal ini menjadikan kerjasama antar divisi pun berjalan dengan baik. Masing-masing individu dan bagian saling mengingatkan dan mendukung saat implementasi strategi bisnis.

    Unilever Indonesia memonitor pencapaian KPI dengan menggunakan system traffic light. Selain warna merah, ada warna kuning (sebagian tercapai, sebagian belum) dan warna hijau, yang berarti tercapai. Dalam setiap rapat direksi yang berlangsung setiap bulan, mereka tinggal melihat wama tersebut yang muncul dalam satu lembar BBS dan BBP. Tidak perlu lagi bicara angka, karena warna tersebut mencerminkan hal sesungguhnya. Perhatian direksi difokuskan pada strategi memperbaiki KPI yang masih berwarna merah, sedangkan yang lain dianggap sudah berjalan. Begitulah seterusnya agar KPI berwarna merah berubah menjadi kuning dan hijau. Uniknya, pencapaian target tersebut juga bisa dimonitor oleh seluruh karyawan melalui layar 2 buah TV yang berada di setiap lantai gedung kantor pusat Unilever di Jakarta. Setiap kali mereka bisa melihat pencapaian target mingguan dari sisi penjualan berbagai divisi pemasaran (home care,personal care, foods, dan ice cream). Strategi komunikasi ini bertujuan untuk membangun kepedulian dan semangat di antara para karyawan. “Jadi, kalau manajemen datang kepada mereka untuk minta bantuan, mereka pun mengerti dan memberikan dukungan karena hasilnya bisa mereka lihat,” tegas Josef.

    Evaluasi pencapaian target KPI dikoordinir oleh Corporate Strategic Planner yang berada di bawah CFO (Chief Financial Officer). Dia berhubungan dengan BBP Champion yang menjadi orang penghubung dan koordinator dari setiap divisi. Para champion ditentukan oleh Direksi dari divisi masingmasing, yaitu individu yang berada satu level di bawah direksi dengan kemampuan fasilitator dan ko-munikator yang baik. “Mereka datang ke setiap bagian untuk mengevaluasi kemajuan pencapaian target,” tambah Mia Korompis, External Public Relations Manager Unilever lndonesia. Kecuali itu, mereka ini bertugas memfasilitasi berbagai rapat atau diskusi membahas BBS dan BBP di divisi yang berbeda (bukan di divisinya sendiri). Untuk menjadi champion, mereka telah diberi training terlebih dahulu.

    Dalam perspektif learning and growth, serangkaian proses dilakukan Unilever secara konsisten. Sebagian besar kegiatan pembelajaran dan pertumbuhan dilaksanakan sendiri oleh Unilever, khususnya melalui Unilever Learning Center di kawasan Megamendung, Puncak. Lembaga ini merupakan pusat training Unilever di kawasan Asia bersama-sama dengan India. Kecuali training bersifat kompetensi teknis, Unilever mencoba menyeimbangkan pula antara hard competencies dengan soft competencies. Umpamanya, perusahaan mengembangkan mentalitas “make it mine” – bahwa setiap program implementasi adalah tanggung jawab setiap orang dan tidak mengandalkan orang lain. Ada lagi program “can do”, yaitu mengembangkan mentalitas bahwa kita bisa. Hasil dari implementasi BSc di Unilever Indonesia tidak hanya tercermin dari angka-angka pencapaian finansial (bottom line) seperti tertera di awal tulisan ini. Beberapa kali Unilever Indonesia dinilai terbaik oleh Unilever global dalam kreativitas people strategy dan diundang untuk berbagi sukses dengan seluruh jajaran Unilever.